JANGAN tanya soal kualitas tim nasional junior kita dengan Argentina. Jauh sekali gap nya. Meski demikian, awalnya ada juga kegusaran mereka. Sebagai tim yang memiliki dua rising star dunia, Diego Maradona dan Ramon Diaz, mereka memang pantas gusar.

Bukan, pasti bukan karena kualitas tim nas kita, tapi justru kebalikannya. Argentina lawan siapa pun tak pernah takut. Argentina melawan tim-tim hebat sekelas Brasil, Uruguay, Jerman, Inggris, atau siapa pun sudah terlalu biasa.

Mereka gusar karena tidak memiliki data tentang tim kita. Jujur, mereka pasti takut tim nas kita bermain tidak sesuai khaidah sepakbola yang benar. Jujur, mereka takut Maradona, Diaz, dan bintang lainnya dicederai. Itu sebabnya mereka harus bicara dengan wasit Rolando Fusco asal Kanada (baca bagian ke-4 rangkaian tulisan saya Pesan Wasit Untuk Mas Gareng) agar pesan efektif.

Di satu sisi, ada rasa kesal, kok segitunya mereka (Argentina) memandang tim nas kita 1979. Tapi, jika kita ambil positifnya, hal itu harus kita jawab dengan berbuat nyata. Kita harus berbuat banyak untuk meningkatkan kualitas sepakbola kita hingga dunia memandangnya. 

Sayang, tantangan itu tidak pernah bisa kita jawab dengan baik dan benar. PSSI malah terus dan terus asyik dengan program-program jalan pintas dan untuk kepentingan sesaat.

Ada sih sebetulnya program untuk jangka panjang, PSSI Garuda-1 dan PSSI Primavera (tidak mengurangi rasa hormat untuk adik-adik Garuda-2 dan PSSI Baretti), keduanya dibentuk menjadi semacam pabrik pemain. Keduanya dimaksudkan untuk membentuk individu dan setelah itu diproyeksikan ke Olimpiade. 

Cara rekrutmennya cukup ketat. Tidak ada pemain-pemain titipan. Bukti konkretnya, hampir 70 persen pemain eks. G-1, mengisi slot tim nasional senior untuk waktu lama dan ada lebih dari lima orang yang jadi bintang. Marzuki Nyak Mad, Patar Tambunan, Ashari Rangkuti, Hermansyah, Aji Ridwanmas, dan Sain Irmis.

Dari Primavera, Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, dan Kurnia Sandi yang menjadi bintang. Bahkan ketiganya sempat main di Liga Eropa, namun impian itu harus kandas juga. 

Khusus Kurniawan, seorang sahabat, Abdi Satria (Go) yang sedang bertugas ke Italia, sempat bertemu dengan Alessandro Del Piero, ujung tombak Juventus. "Bagaimana kabar Kurni?" tanya striker tim nasional Italia itu.

Yang dimaksud Kurni adalah Kurniawan. Del Piero terkesan karena saat ia menjadi top-skor Primavera, jika saya tak salah ingat hanya berselisih 2 atau 3 gol saja dengan Kurniawan. Hebatnya, si Kurni tidak satu pun dari titik penalti, sementara Del Piero empat gol dihasilkan dari penalti.

Capek

Kembali ke Banur sapaan akrab Bambang Nurdiansyah. Ia mengaku saat berlaku di Piala Dunia junior 1979, adalah pemain paling capek. "Saya dan David yang paling capek," tukas mantan ujung tombak paling produktif di tim nas dan Galatama. Catatan, Banur berulang-ulang jadi top-skor.

Masih kata Banur, setiap selesai kick-off, selalu saja jadi penonton. "Biasa saya atau David Sulaksmono yang menendang pertama, setelah itu bola didorong ke belakang. Naah, setelah itu kami hanya menonton," katanya sambil tertawa.

Banur lalu menjelaskan bahwa bola yang didorong ke belakang, sulit sekali kembali ke depan karena lawan langsung mengurung tim nas kita. Demikian ketatnya hingga akhirnya gawang Endang Tirtana kebobolan16 kali. Ya, kita kalah masing-masing 5-0 dari Argentina dan Yugoslavia dan 6-0 dari Polandia.

Banur dan kawan-kawan bukan tanpa usaha, tetapi ia, David, dan Mundari Karya mengaku kelas kita jauh di bawah semua lawan di grup B. Di samping itu, tim 1979 bukanlah kelanjutan tim Piala Asia 1978. Wafatnya sang legenda dan pelatih kepala, Djamiat Dalhar, membuat segalanya berubah.

Seperti apa perubahan itu, tunggu lanjutannya seperti akan dikisahkan oleh Davis Sulaksmono, ujung tombak yang ikut di tim 1978 dan 79.


Jangan lewatkan bagian ke-6..

M. Nigara 

Wartawan Sepakbola Senior